Tips Mempercepat Loading Form Komentar Blog it's in me: FILSAFAT

Minggu, 06 Mei 2012

FILSAFAT

. (1)   Filsafat sebagi proses (philosophy as process) Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat
(the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan
dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the
evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan dengan
pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan
bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.
Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual. (2)   Filsafat sebagai produk (philosophy
as product) Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan
pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk
pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang
secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi,
ringkasan akhir, dan juga rencana final.menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.  Ketiga, teori nilai alamiah (the
naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-
hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan
masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai
instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen.
Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.  Keempat,
teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status
kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya
merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi,
sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama
kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy. (3)   Epistemologi (Epistemology) Disebut the theory of knowledge
atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin
inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu
mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the
products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para
pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it
known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu
(how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:
Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know)
– selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki
beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim
pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian. Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab:
tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk
berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya
inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon
aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.  Ketiga, fallibilism. Aliran ini
menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti
sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain).
Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat
diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal
dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas
dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini
memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka
untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja
aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan
bersifat tentatif. Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia)
memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana? Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah
produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan
nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala. Realis klasik
menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita
tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari
waktu ke waktu sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti
itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya. Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan
kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan
kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari
keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis. Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis,
atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran
bersifat relatif sesuai dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi
dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita
tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna
bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian
pengetahuan dan perburuan kebenaran. Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan: (1)   Pendidikan sebagai
manifestasi (education as manifestation). Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan
adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri
setiap anak. (2)   Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition) Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan
sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari
lingkungannya. (3)   Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction) Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay
yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah
batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya.
Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana
seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan
kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan
membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya. Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan
tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka
PORTAL WEB IT PARIAMAN
http://madion.net76.net Menggunakan Joomla! Generated: 7 May, 2012, 11:07FILSAFAT PENDIDIKAN
 Kontribusi Dari Administrator
Saturday, 26 July 2008
Pemutakhiran Terakhir Saturday, 26 July 2008
Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan (wisdom) dan kekuatan
filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan
dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari
filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan. Filsafat
pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan, ia
beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari
filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-
persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin
unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiologi. Filsafat secara ringkas berkenaan dengan
pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam
filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman makna atau dasar dari
pengetahuan dan sejenisnya. Dengan menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara
tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan terkuak dimensi-
dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan
makna suatu kata sebagai konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumís-asumsi moral guna
membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.09:33
Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat secara lebih
jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk
kehidupan sosial yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung jawab manusia, hak-
hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita
pada pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur konseptual tertentu,
akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan
mengantar kita lebih jauh pada filsafat moral. Terdapat tiga persoalan umum yang disebut filsafat. (1)   Metafisika
(Metaphysics) Istilah lebih generik adalah “ontology” yang berkenaan dengan hakikat realitas (what is),
sedangkan metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it means “to be”). Pada konteks ini
keduanya dipakai saling menggantikan (interchangeably). Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu
upaya filosofis untuk memahami karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang
sederhana namun serba mencakup.   Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari
dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau
substansi realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran kuantitatif
(yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme,
(2) dualisme, dan (3) pluralisme. Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as
the substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas bersifat mental atau
spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme.
(3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang menolak untuk
mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada
pada keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan
filosofis baik jenis maupun jumlahnya. (2)   Aksiologi (Axiology) Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah
etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog
filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh
perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan
(means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti
apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang
moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau
“sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan,
dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai. Terdapat dua kategori dasar
aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat
bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat
pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.  Pertama,
teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil
untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai
yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata
moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan
antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang
menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau
sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.  Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi
mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan
sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang
benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang
melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang
PORTAL WEB IT PARIAMAN
http://madion.net76.net Menggunakan Joomla! Generated: 7 May, 2012, 11:07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar