Tips Mempercepat Loading Form Komentar Blog it's in me: "KUTIPAN DAN NOTASI ILMIAH"

Minggu, 27 Mei 2012

"KUTIPAN DAN NOTASI ILMIAH"



A.     KUTIPAN
            Kutipan merupakan salah satu hal yang sangat esensi dalam penulisan karya ilmiah. Dalam penulisan karya ilmiah, baik itu berupa makalah, skripsi, tesis, disertasi maupun penelitian yang dilakukan oleh seorang dosen sudah tentu mengutip dari buku atau karya orang lain. Dalam penulisan kutipan ada aturan main yang harus diikuti oleh setiap penulis karya ilmiah tanpa kecuali.  
            Kutipan adalah pinjaman kalimat atau pendapat dari seorang pengarang atau ucapan seseorang yang terkenal baik yang terdapat dalam buku-buku maupun majalah-majalah (Keraf, 2001:179). Pada umumnya, kutipan harus sama dengan aslinya, baik mengenai susunan kata-katanya, ejaannya, maupun mengenai tanda bacanya. Kutipan secara umum ada dua macam, yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak langsung.

1. Kutipan Langsung
            Kutipan langsung adalah pinjaman pendapat dengan mengambil secara lengkap kata demi kata, kalimat demi kalimat, dari sebuah teks asli (Keraf, 2001:179–180). Kutipan langsung ada yang merupakan kutipan langsung pendek dan ada pula yang merupakan kutipan langsung panjang.

a. Kutipan langsung pendek
            Kutipan langsung pendek adalah kutipan yang terdiri dari lima baris atau kurang. Penulisannya diintegrasikan langsung dengan teks yang mendahuluinya dengan menggunakan spasi ganda dan dibatasi dua tanda petik.
 Contoh:
            Dalam kajian pengelolaan belajar, banyak para pakar yang memberikan fitur pekerjaan seorang guru sebagai manajer. Davies (1991:35) mengidentifikasikan “Ada empat fungsi umum yang berkaitan dengan fitur pekerjaan seorang guru sebagai manajer, yaitu merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengawasi.”
Contoh lain:
Dalam hal morfem, Lyons (1968:180) mengatakan, “morphemes are described as minimal units of grammatical analysis” artinya, morfem adalah unit analisis gramatikal yang terkecil; misalnya kata unacceptable adalah terdiri dari tiga morfem, yaitu un, accept, dan able.
            Dalam paragraf di atas kutipan yang disadur dari pendapat Davies dan Lyons yang terdiri dari tiga baris dan dua baris diintegrasikan langsung ke dalam teks dan kutipan diapit tanda petik ganda.

b. Kutipan langsung panjang
            Kutipan langsung panjang adalah kutipan yang panjangnya lebih dari lima baris. Metode penulisannya dipisah dari teks yang mendahuluinya atau dari kalimat yang dibuat penulis sehingga membentuk paragraf baru dengan jarak antarbaris satu spasi atau satu setengah spasi dengan indens dari marjin kiri tujuh ketuk.


Contoh:
            Bahasa Arab di Indonesia dimasukkan sebagai pelajaran inti di lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Departemen Agama Republik Indonesia. Dalam hal ini, mata pelajaran bahasa Arab dicantumkan dalam GBPP kurikulum bahasa Arab Madrasah Aliyah (1994:1) yang berbunyi:
Program pengajaran bahasa Arab di Aliyah pada dasarnya merupakan kelanjutan dan pengembangan pengajaran bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah, bahasa Arab fusha terutama dari bahasa-bahasa lain di dunia dengan mempunyai manfaat ganda karena ia adalah sarana yang dapat digunakan dalam kepentingan-kepentingan bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, di samping kepentingan agama dan ibadah.

            Dalam praktik di lapangan, tidak ada keseragaman mengenai batas panjang pendeknya kutipan langsung. Bahkan, Arifin dan Tasai (2003:33) memberikan limit lima baris atau kurang untuk kutipan langsung pendek dan enam baris ke atas untuk kutipan langsung panjang. Jadi, menurut hemat penulis dalam hal penulisan kutipan ini Anda bisa memilih berbagai opsi yang ada atau merujuk pada pedoman penulisan karya ilmiah di perguruan tinggi Anda.
                                                                                                                                                             2. Kutipan tidak langsung 
            Kutipan tidak langsung adalah kutipan yang diambil dari salah satu sumber dengan menggunakan gaya bahasa dan pola penyajian ala penulis (Widodo, 2004:11). Metode kutipan ini adalah untuk menyerap inti sari atau maksud dari suatu tulisan yang panjang dengan tidak mengurangi atau mengubah makna yang terkandung dalam tulisan tersebut. Oleh karena itu, kutipan tidak langsung harus dilakukan secara hati-hati, cermat, dan akurat serta dilengkapi dengan identitas sumber kutipan yang jelas.
            Kutipan tidak langsung terdiri atas kutipan tidak langsung pendek dan kutipan tidak langsung panjang. Metode penulisan dalam kutipan tidak langsung ini, sama dengan kutipan langsung, yaitu apabila kutipan terdiri dari tiga baris atau kurang, kutipan diintegrasikan langsung ke dalam teks dengan menggunakan spasi ganda, tetapi tidak diapit tanda petik ganda. Sebaliknya, apabila kutipan lebih dari tiga baris (empat baris ke atas), penulisannya dipisahkan dari teks sehingga membentuk paragraf tersendiri dengan jarak antarbaris satu spasi atau satu setengah spasi.


B.     NOTASI ILMIAH

            Ada tiga teknik yang populer yang banyak digunakan di berbagai perguruan tinggi baik PTN maupun PTS, yakni footnote, innote, dan endnote.

1. Footnote
            Footnote adalah catatan pada kaki halaman untuk menyatakan sumber suatu kutipan, pendapat, buah pikiran, fakta-fakta, atau ikhtisar. Footnote dapat juga berisi komentar mengenai suatu hal yang dikemukakan di dalam teks, seperti keterangan wawancara, pidato di televisi, dan yang sejenisnya. Gelar akademik dan gelar kebangsawanan tidak disertakan serta nama pengarang/penulis tidak dibalik.

a. Nomor Footnote
            Footnote atau catatan kaki diberi nomor sesuai dengan nomor kutipan dengan menggunakan angka Arab kecil (1, 2, 3, dst.) yang diketik naik setengah spasi. Footnote pada tiap bab diberi nomor urut, mulai dari angka 1 sampai dengan selesai dan dimulai dengan nomor satu lagi pada bab-bab berikutnya.

b. Bentuk Footnote
            Dalam footnote urutan penulisannya ada beberapa macam cara. Namun, di sini hanya disebutkan dua macam cara sebagaimana yang sering digunakan di mayoritas perguruan tinggi. Cara pertama urutannya adalah sebagai berikut.
1) Nama pengarang koma
2) Nama buku koma
3) Nomor jilid buku (jika ada) koma
4) Nama penerbit koma
5) Nama kota tempat terbit buku koma
6) Tahun penerbitan koma
7) Halaman-halaman yang dikutip atau yang berkenaan dengan teks titik.
Selanjutnya, cara kedua urutannya adalah sebagai berikut.
1) Nama pengarang koma
2) Nama buku koma
3) Nomor jilid buku (jika ada) koma
4) Nama kota tempat terbit buku titik dua
5) Nama penerbit koma
6) Tahun penerbitan koma
7) Halaman-halaman yang dikutip atau yang berkenaan dengan teks titik.
Contoh:
1 Andrew Spencer, Morphological Theory: An Introduction to Word Structure in Generative Grammar, Blackwell Publishers, Cambridge, Massachusetts, 1993, h. 81. 

2 Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Penerbit Nusa Indah, Flores, NTT, 2001, h. 34.

Anda juga bisa menulis footnote dengan cara kedua, yaitu sebagai berikut.

1 Andrew Spencer, Morphological Theory: An Introduction to Word Structure in Generative Grammar, (Cambridge, Massachusetts: Blackwell Publishers, 1993), h. 81. 

2 Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores, NTT: Penerbit Nusa Indah, 2001), h. 34.

            Pada cara kedua, antara nama kota tempat terbit buku, nama penerbit, dan tahun terbit ditempatkan di dalam kurung.




c. Footnote  yang Berkaitan dengan Jumlah dan Nama Pengarang
1)      Pengarang satu orang (lihat contoh di atas).
2)      Pengarang dua atau tiga orang: nama pengarang dicantumkan semua.
Contoh:
3 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, h. 136.

4 S. Nasution dan M. Thomas, Buku Penuntun Membuat Tesis Skripsi Disertasi Makalah, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, h. 35.

5 D. Edi Subroto, Soenardji, dan Sugiri, Tata Bahasa Deskriptif  Bahasa Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1991, h. 112.

3) Jika pengarang lebih dari tiga orang yang dicantumkan hanya nama pengarang pertama dan di belakangnya ditulis et al. atau dkk. et al. asalnya dari et alii ‘dengan orang lain’.
Contoh:
6 Florence B. Stratemeyer, (et al.), Developing a Curriculum for Modern Living, Bureau of Publications Teachers College, Columbia University, New York, 1957, h. 56 - 149.
7 Abboud, (et. al), Elementary Standard Arabic. Edisi II, Cambridge University Press, Cambridge, 1986, h. 28.

4) Jika buku itu merupakan kumpulan karangan, yang dicantumkan hanya nama editornya, di belakangnya (Ed.) atau (Editor).
Contoh:
8 John Lyons (Ed.), New Horizons in Linguistics, Cet.V, Penguin Books Ltd, Great Britain, 1975, h.108.

9 Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (Ed.), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, h. 220.

5) Jika tidak ada nama pengarang, yang dicantumkan adalah nama badan, lembaga, perkumpulan, perusahaan, negara, dan sebagainya yang menerbitkannya.
Contoh:
10 Departemen Agama RI, Kurikulum Madrasah Aliyah: GBPP Bidang Studi Bahasa Arab, Dirjen Binbaga Islam, Jakarta, 1994, h. 1.

6) Jika buku itu merupakan terjemahan, yang dicantumkan tetap nama pengarang aslinya, dan di belakang nama buku dicantunkan nama penerjemah.
Contoh:
11 Harold H. Titus, Merilyn Smith S., dan Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, alih bahasa Rasjidi H.M., Bulan Bintang, Jakarta, 1984, h. 256.




Catatan:
Kata “alih bahasa” bisa diganti dengan kata “edisi terjemahan oleh” atau “terjemahan”.


d. Metode Penulisan Footnote
            Footnote dapat diambil dari berbagai macam sumber, seperti dari buku, majalah, surat kabar, karangan yang tidak diterbitkan, seperti skripsi, tesis, dan disertasi, interviu (wawancara), dan ensiklopedi.

1) Buku
Contoh:
12 Andrew Spencer, Morphological Theory: An Introduction to Word Structure in Generative Grammar, Blackwell Publishers, Cambridge, Massachusetts, 1993, h. 81. 

13 Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Penerbit Nusa Indah, Flores, NTT, 2001, h. 34.

Keterangan:
a)      Nomor footnotes jauhnya tujuh pukulan tik dari garis margin teks, yakni sama dengan permulaan alinea baru. Kalau footnotes terdiri lebih dari dua baris, baris kedua dan selanjutnya dimulai pada garis margin teks biasa dengan jarak antarbaris satu spasi.
b)      Nama pengarang menurut urutan namanya yang sewajarnya, yakni nama kecil atau initialnya dan nama akhirnya. Pangkat dan gelar seperti, Drs., M.A., Prof., Dr., dan sebagainya tidak usah dicantumkan.
      Kalau pengarang memakai nama samaran, di antara tanda kurung besar dicantumkan nama yang sebenarnya.
Contoh:
        14 Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Sejarah Ummat Islam, Penerbit Islamiyah, Medan, 1950, h. 47.

3)  Nama buku diberi garis bawah atau dicetak miring.
4) Keterangan-keterangan mengenai penerbit: nama, tempat, dan tahun   penerbitan.
5) Nomor halaman yang bersangkutan.

2) Majalah
Sumber acuan dapat diambil dari artikel atau makalah yang diambil dari majalah. Nama majalah dicetak miring atau diberi garis bawah, sedangkan judul artikel dalam majalah tersebut diberi tanda petik ganda. Jika ada nomor majalah, ditulis dengan angka Arab kecil (1, 2, 3, dan seterusnya) sedangkan jika ada volume atau edisi majalah ditulis dalam angka Romawi.




Contoh:
15 Kusmin, “Gaji Guru antara “Das Sollen dan Das Sein”” Derap Guru Jawa Tengah, No. 73,  Februari, VII, 2006, h. 27-28.

16 Ahmad Ta’rifin, “Menimbang Paradigma Liberalisme dalam Praktik Persekolahan”, Forum Tarbiyah: Jurnal Pendidikan Islam STAIN Pekalongan, No. 1, Juni, III, 2005, h. 123.

3) Surat Kabar
Sumber acuan dapat pula diambil dari artikel atau makalah yang diambil dari surat kabar atau koran. Nama surat kabar dicetak miring atau diberi garis bawah, sedangkan judul artikel dalam majalah tersebut diberi tanda petik ganda.
17 Rokhmah Sugiarti, “Meluruskan Mitos Jari-jari Perempuan”, Suara Merdeka, 29 Mei 2000, h. 7.

4) Makalah
18 Din Syamsuddin, “Peranan Golkar dalam Pendidikan Politik Bangsa”, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional  Peranan Pendidikan Islam dalam Pendidikan Politik di Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Semarang, 19–21 Mei 1996.

5) Karangan yang tidak diterbitkan, seperti skripsi, tesis, dan disertasi.
19 Afdol Tharik Wastono, “Kongruensi dan Reksi dalam Bahasa Arab”, Tesis Magister Humaniora, Perpustakaan UI Jakarta, 1997, h. 82. atau

20 Afdol Tharik Wastono, “Kongruensi dan Reksi dalam Bahasa Arab”, Tesis Magister Humaniora, Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, h. 82.

6) Interviu atau Wawancara

21 Wawancara dengan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 8 April 2004.

7) Pidato di televisi

22 Penjelasan A. Latief dalam siaran Pembinaan Bahasa Indonesia melalui TVRI hari Selasa, 4 Agustus 1987 pukul 20.35 WIB.

8) Komentar mengenai suatu hal yang dikemukakan di dalam teks
Contoh:
Sehubungan dengan macamnya penyisip itu, teknik sisip dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (disadur dari Sudaryanto, 1993:68).
(i) teknik sisip pisah atau teknik SP; dan
(ii) teknik sisip tambah atau teknik ST.23

Kalimat yang dikutip tersebut harus ditulis sumbernya dalam footnote, seperti berikut ini.
23 Preferensi penginggrisannya diusulkan (i) “separating interruption technique” untuk teknik SP dan (ii) “adding interruption technique” untuk teknik ST.

9) Karangan dalam ensiklopedi.
a) Nama pengarang diketahui.
24 E.E. Kellet, "Spinoza", Encyclopedia of  Religions and Ethics XI 1921, h. 251.

b) Nama pengarang tidak diketahui.
25 "Katalisator", Ensiklopedia Indonesia I.

e. Mempersingkat Footnote
            Footnote atau catatan kaki tidak usah selalu ditulis dengan lengkap. Jika suatu sumber telah pernah disebut dengan lengkap, yakni pada pertama kalinya, footnote yang selanjutnya dapat dipersingkat dengan menggunakan singkatan ibid., op. cit., dan loc. cit.
1) Pemakaian ibid., op. cit., dan loc. cit.
            Ibid., kependekan dari ibidem 'pada tempat yang sama' dipakai apabila suatu kutipan diambil dari sumber yang sama, halaman sama atau berbeda dengan yang langsung mendahuluinya dengan tidak disela oleh sumber lain.
            Op. cit., kependekan dari opere citato 'dalam karangan yang telah disebut atau dikutip' dipakai apabila suatu kutipan diambil dari sumber yang sama, tetapi halaman berbeda dan telah diselingi oleh sumber-sumber lain.
            Loc. cit., kependekan dari loco citato 'pada tempat yang telah disebut atau dikutip' digunakan apabila suatu kutipan diambil dari sumber yang sama, halaman sama dan telah diselingi oleh sumber-sumber lain.

2) Contoh pemakaian ibid., op. cit., dan loc. cit.
            24 Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer, Elsaq Press, Yogyakarta, 2004, h. 129.

            25 Ibid., h. 147 (berarti dari buku yang tersebut di atas).

            26 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial, Elsaq Press, Yogyakarta, 2005, h. 102.

            27 Zainab Hasan Syarqawi, Fiqih Seksual Suami-Istri: Kunci Sukses Menggapai Kebahagiaan Hidup, alih bahasa Hawin Murtadho, Media Insani Press, Solo, 1951, h. 23.

            28 Fahruddin Faiz, op. cit., h. 109 (buku yang telah disebut di atas).

            29 Zainab Hasan Syarqawi, loc. cit. (menunjuk kepada halaman yang sama dengan yang disebut terakhir, yakni h. 23).


2. Innote
            Pada teknik ini, sumber kutipan ditulis atau diletakkan sebelum bunyi kutipan atau diletakkan dalam narasi atau kalimat sehingga menjadi bagian dari narasi atau kalimat. Pada innote, ketentuannya adalah sebagai berikut.
  1. Membuat pengantar kalimat sesuai dengan keperluan.
  2. Menulis nama akhir pengarang.
  3. Mencantumkan tahun terbit, titik dua, dan nomor halaman di dalam kurung.
  4. Menampilkan kutipan, baik dengan kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung.
Contoh:
            Perkembangan bahasa merupakan hal yang sangat urgen dalam tahap perkembangan jiwa anak.  Menurut Yule (1996:178-180), perkembangan bahasa dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu (1) tahap pralinguistik (pre-language stages), (2) tahap satu kata, satu frasa (the one-word or holophrastic stage), (3) tahap dua kata, satu frasa (the two-word stage), dan (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).
            Pada contoh di atas, notasi ilmiahnya mencakup: Yule, 1996:178. Yule adalah pengarang buku yang dikutip, 1996 adalah tahun terbit buku yang dikutip, dan 178 adalah halaman tempat teks yang dikutip.
Perhatikan pula contoh penulisan innote di bawah ini.
Dalam hal morfem, Lyons (1968:180) mengatakan, “morphemes are described as minimal units of grammatical analysis” artinya, morfem adalah unit analisis gramatikal yang terkecil; misalnya kata unacceptable adalah terdiri dari tiga morfem, yaitu un, accept, dan able.

3. Endnote
            Pada teknik endnote, nama pengarang diletakkan setelah bunyi kutipan atau dicantumkan di bagian akhir narasi, dengan ketentuan sebagai berikut.
a.       Membuat pengantar kalimat sesuai dengan keperluan.
b.      Menampilkan kutipan, baik dengan kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung.
c.       Menulis nama akhir pengarang, tanda koma, tahun terbit, titik dua, dan nomor halaman di dalam kurung, dan akhirnya diberi titik.
Contoh:
Pada aspek penguasaan pragmatik, anak dianggap sudah dapat berbahasa pada waktu ia mampu mengeluarkan kata-kata pertamanya, yaitu sekitar usia satu tahun. Akan tetapi, sesungguhnya sejak masa-masa awal setelah kelahirannya, anak mampu berkomunikasi dengan ibunya. Demikian juga orang-orang dewasa di lingkungannya pun memperlakukan anak seolah-olah sudah dapat berbicara (Spencer dan Kass, 1970:130).
            Pada contoh di atas, notasi ilmiahnya meliputi: Spencer dan Kass, 1970:130. Spencer dan Kass adalah nama akhir pengarang buku yang dikutip, 1970 adalah tahun terbit buku yang dikutip, dan 130 adalah halaman teks yang dikutip.
Ada beberapa catatan yang perlu diperhatian baik untuk penulisan innote maupun endnote, antara lain:
1.      Jika diperlukan dua buku rujukan untuk kepentingan pendapat tersebut dan buku-buku itu membicarakan hal yang sama, penampilan kutipannya sebagai berikut.



Contoh:
Selanjutnya, Spencer dan Kass (1970:128) menyatakan bahwa dari sudut pandang psikolinguistik, pertanyaan yang paling menarik tentang pemerolehan bahasa anak adalah bahwa pemerolehan bahasa melibatkan keahlian berbicara (skills of speaking) dan pemahaman (understanding). Para pakar psikolinguistik harus memilah-milah antara apa yang anak ketahui tentang bahasa dan ungkapan-ungkapan yang dia ucapkan.
2.      Jika diperlukan tiga buku rujukan untuk kepentingan pendapat tersebut dan buku-buku itu membicarakan hal yang sama, penampilan kutipannya sebagai berikut.
Contoh:
Bahasa baku memiliki tiga fitur yang sangat urgen, yaitu (1) kemantapan dinamis, (2) cendekia, dan (3) rasional (Arifin dan Tasai, 2000:19-20; Perum Balai Pustaka, 1993:13; Chaer dan Agustina, 1995: 254).
            Perhatikan pula pemakaian tanda titik koma pada endnote di atas. Tanda titik koma (;) pada endnote di atas, digunakan untuk memberikan batasan antara notasi ilmiah yang satu dengan notasi ilmiah yang lain.
3. Jika nama pengarang lebih dari tiga orang, yang disebutkan hanya nama pengarang pertama dengan memberikan et al. atau dkk. (berarti dan kawan-kawan) di belakang nama tersebut.
Contoh:
            Jika dirumuskan bagaimana hubungan arsitektur dan arsitek, Sularso, dkk. (2003:10-11) mengatakan bahwa arsitektur adalah perpadaun ilmu dan seni, sedangkan arsitek adalah orang yang menciptakan raung sehingga melahirkan bentuk-bentuk arsitektur yang beraneka ragam.
            Penggunaan notasi ilmiah relatif berbeda antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi yang lain. Meskipun demikian, pada umumnya mereka mengacu pada salah satu pedoman penulisan notasi ilmiah yang ada. Bahkan, biasanya hampir di setiap perguruan tinggi memiliki buku pedoman penulisan usulan penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi.
            Ada dua versi dalam penulisan innote dan endnote. Pertama, mencantumkan pengarang, tahun terbit, dan halaman teks yang dikutip. Kedua, hanya mencantumkan nama pengarang dan tahun terbit. Namun, pada umumnya cara yang pertama lebih banyak digunakan daripada cara yang kedua.

     













BIBLIOGRAFI

            Ada beberapa istilah yang sepadan dengan bibliografi. Istilah-istilah tersebut adalah daftar pustaka, daftar bacaan, daftar rujukan, dan referensi. Bibliografi berisi daftar buku, majalah, artikel, atau wawancara yang menjadi sumber bacaan atau acuan dan berhubungan secara erat dengan karangan yang ditulis. Daftar pustaka merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam suatu karya ilmiah, baik dalam makalah, paper, skripsi, tesis, maupun disertasi. Letak daftar pustaka dalam suatu karya ilmiah adalah setelah bab simpulan.          Tajuk DAFTAR PUSTAKA dituliskan dengan huruf kapital semua tanpa diberi tanda baca apa pun dan dituliskan di tengah-tengah kertas dengan jarak dari pinggir atas sekitar empat sentimeter.
            Dalam daftar pustaka sebagaimana yang dinyatakan Arifin (2003:57) harus dicantumkan semua kepustakaan, baik yang dijadikan sebagai acuan atau landasan penyusunan karya ilmiah maupun yang hanya dijadikan sebagai bahan bacaan, seperti artikel baik yang disadur dari majalah maupun surat kabar, makalah, skripsi, disertasi, buku, diktat, dan antologi. Daftar pustaka ditulis secara alfabetis sesuai nama-nama pengarang atau lembaga yang menerbitkannya. Adapun urutan penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut.
1.      Nama penulis titik tahun terbit titik judul buku yang diberi garis bawah putus-putus atau dicetak miring titik kemudian kota tempat terbit buku titik dua (:) nama penerbit titik.
Misalnya:
Arsyad, Azhar. 2001. Dasar-dasar Penguasaan Bahasa Arab. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Sahertian, Piet A. dan Ida Aleida Sahertian. Supervisi Pendidikan dalam Rangka Program Inservice Education. Jakarta: Rineka Cipta.

2.      Jika buku yang disebut di dalam daftar pustaka merupakan edisi terjemahan, setelah judul buku disebutkan “edisi terjemahan oleh …” di dalam kurung. Dalam edisi terjemahan tahun terbit yang dipakai adalah tahun terbit terjemahan.
Misalnya:
Titus, Harold H, Merilyn Smith S., Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, (edisi terjemahan oleh Rasjidi H.M.), Jakarta: Bulan Bintang.

3.      Jika buku dalam daftar pustaka itu berupa sebuah artikel dalam sebuah kumpulan yang disunting seorang editor (antologi), judul artikel itu diapit tanda petik ganda (tanpa garis bawah).

Misalnya:
Susilastuti, Dewi H. 1993. “Berbagai Persoalan Kesehatan Reproduksi Perempuan”. Dalam Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (Editor). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia.  Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

4.      Jika buku dalam daftar pustaka itu berupa karya-karya yang belum dipublikasikan, seperti skripsi, tesis, dan disertasi, judul itu tidak perlu diberi garis bawah putus-putus atau dicetak miring, tetapi diletakkan di antara dua tanda petik ganda.
Misalnya:
      Wastono, Afdol Tharik. 1997. “Kongruensi dan Reksi dalam Bahasa Arab”.                 Jakarta: Tesis Magister Humaniora Univeritas Indonesia.

5.      Jika sumber acuan dalam daftar pustaka berupa artikel yang diambil dari majalah atau jurnal, judul artikel tidak perlu diberi garis bawah atau dicetak miring, tetapi diapit tanda petik ganda, sedangkan yang digarisbawahi atau dicetak miring adalah nama majalah atau jurnal dengan didahului kata “Dalam”.
Misalnya:
Sarbini. 2003. “Islam dan Problem Sosial: Perspektif Kekerasan Politik dan Agama”. Dalam Jurnal Ilmiah Mamba’ul ‘Ulum. Edisi III. Surakarta.

6.      Jika sumber acuan itu berupa artikel yang diambil dari koran atau surat kabar, judul artikel diapit tanda petik ganda sebagaimana artikel yang dikuti dari majalah, sedangkan nama surat kabar diberi garis bawah dan didahului kata “Dalam”.
Misalnya:
Indrayana, Denny. 2006. “Hakim Agung “Wanted””. Dalam Kompas. 3 Mei 2006. Jakarta.

Suksmantri, Eko. 2000. “Militerisasi Sipil, Ironi di Era Reformasi”. Dalam Suara Merdeka. 12 Mei 2000. Semarang.

7.      Jika sumber acuan berupa hasil wawancara atau interviu, penulisannya sebagai berikut.
Sutarno. 2003. “Peran Teknologi dalam Mengaktualkan Paradigma Baru Pembelajaran dan Manusia Pembelajar”.Wawancara dengan Ketua Program Studi Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 3 Februari 2003.

8.      Jika terdapat beberapa buku yang ditulis oleh seorang yang sama, nama penulis ditulis yang pertama, sedangkan di bawahnya cukup ditulis : _________________
Misalnya:
            Kridalaksana, Harimurti. 1992. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.                        Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

            ___________________. 1993. Kamus Linguistik. Edisi III. Jakarta: Gramedia                      Pustaka Utama.

9.      Jika tidak terdapat nama penulis dalam buku tersebut, yang ditulis adalah nama lembaga yang menerbitkan buku itu.
Misalnya:
      Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI. 1994. Kurikulum Madrasah                  Aliyah: GBPP Bidang Studi Bahasa Arab. Jakarta.
10.  Jika judul berbahasa Arab, judul harus ditransliterasikan ke dalam huruf Latin dengan mengikuti pedoman transliterasi Arab-Latin yang merupakan SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama Republik Indonesia No.158 tahun 1987 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.0543b/U/1987 (terlampir).
Misalnya:
Gulāyīni, Syaikh Mustafā. 2000. Jāmi’u ad-Durūsi al-Arabiyyah: Juz al-Awwal wa as-Sāni wa as-Sālis. Edisi Revisi. Bairut: al-Maktabatul Asriyyah.
Muhandis, Kāmil. Tanpa Tahun. Mu’jāmu al-Mustalahati al-Arabiyyah Fī al-Lugati wa al-Adāb. Bairut: Dar al-Ma’ārif.

            Dalam penulisan daftar pustaka ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan penulisan nama pengarang, yaitu sebagai berikut.
1.      Gelar akademik dan gelar kebangsawanan tidak disertakan. Misalnya, kalau pengarang buku itu adalah Prof. Dr. Ibnu Hadjar, M.Ed., penulisan nama dalam daftar pustaka adalah Hadjar, Ibnu.
2.      Penulisan nama pengarang/penulis, baik dari kalangan Indonesia maupun penulis buku asing dibalik. Antara unsur-unsur nama yang dibalik itu diberi tanda koma. Misalnya, pengarang buku tersebut adalah Elizabeth B. Hurlock, maka penulisannya adalah Hurlock, Elizabeth B. atau Hurlock, E. B.
3.      Nama penulis yang berbahasa Arab harus ditransliterasikan ke dalam huruf Latin dengan mengikuti pedoman transliterasi Arab-Latin seperti halnya judul. Misalnya, Muhammad Mustafa al Maragi harus ditulis Muhammad Mustafā al-Marāgi
4.      Nama penulis buku yang terdiri dari dua atau tiga orang ditampilkan semua. Untuk nama penulis yang dibalik hanya nama penulis pertama. Misalnya, jika penulis buku itu adalah E. Zaenal Arifin dan S. Amaran Tasai, penulisannya adalah Arifin, E. Zaenal dan S. Amaran Tasai atau Arifin, E. Z. dan S. A. Tasai.
5.      Nama penulis yang lebih dari tiga orang yang ditulis penulis pertama kemudian koma et al. (et alii) yang berarti dan kawan-kawan atau dan lain-lain. Misalnya, Abboud, et al.
6.      Penulis yang menulis lebih dari satu buku yang ditulis buku yang paling awal diikuti tahun berikutnya dengan penulisan seperti yang pertama.
Misalnya:
      Subroto, Edi D. 1991.
      ____________. 1992.
7.      Apabila dalam tahun yang sama penulis menulis lebih dari satu buku, dalam angka tahun dibedakan dengan a, b, c, dan seterusnya.
Misalnya:
      Sudaryanto, 1990a.
      _________, 1990b.
8.      Jika dalam buku itu tidak bertahun, di belakang nama pengarang dicantumkan “Tanpa Tahun”.
Misalnya:
      Yunus dan Bakri. Tanpa Tahun.



BAB X
KARYA ILMIAH

A. Pengantar
            Berbagai definisi tentang karya ilmiah atau karangan ilmiah dikemukakan oleh para ilmuwan. Brotowidjoyo dalam Arifin (2003:1) menyatakan: “Karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar.”
            Karya ilmiah harus ditulis secara jujur apa adanya dan akurat sesuai dengan  kebenaran tanpa mengingat akibat yang ditimbulkan. Kebenaran dalam karya ilmiah adalah kebenaran yang objektif-positif, sesuai dengan data dan fakta yang ada di lapangan, dan bukan kebenaran yang normatif.
            Di samping itu, ada satu hal yang esensi yang seringkali dilupakan oleh para penulis karya ilmiah, yaitu penulisan judul. Seringkali kali kita terjebak oleh kebiasaan para pendahulu kita seperti Goenawan Muhammad yang khas dalam mengolah judul. Judul-judul karangan yang dilontarkan GM senantiasa dalam bentuk kata, seperti “Takhayul”’ Suta, Kunti, Soeharto, Papua, Pungguk, dan sebagainya. Kalau judul tersebut dalam bentuk artikel lepas atau esai, saya kira tidak masalah. Akan tetapi, kalau judul itu merupakan kepala karangan dalam suatu karya ilmiah, akan lain lagi persoalannya.
            Judul dalam karya ilmiah haruslah berbentuk frasa bukan kalimat. Jadi, seandainya ada judul karya ilmiah yang berbentuk kalimat atau kata harus diubah dalam bentuk frasa. Misalnya:
Perempuan di Indonesia Mendinamisasikan Gerakannya. Judul ini bisa diubah dalam bentuk frasa, yaitu “Dinamisasi Gerakan Perempuan di Indonesia”.
             
B. Jenis-jenis Karya Ilmiah
            Di perguruan tinggi pada umumnya kedudukan karya tulis ilmiah sangat penting dan merupakan bagian dari tuntutan formal akademik. Ada beberapa jenis karya ilmiah yang biasa ditulis orang, seperti makalah, laporan bab atau laporan buku, kertas kerja, laporan penelitian, paper, skripsi, dan disertasi. Dilihat dari tujuan penulisannya, karya ilmiah dibedakan ke dalam dua jenis. Pertama, adalah karya ilmiah untuk memenuhi tugas-tugas perkuliahan, yaitu makalah dan laporan bab atau laporan buku. Kedua, adalah karya ilmiah yang merupakan syarat yang dituntut mahasiswa ketika menyelesaikan program studi, yaitu skripsi (untuk S1), tesis (untuk S2), dan disertasi (untuk S3).
            Indriati (2002:103-104) menyatakan ada sebelas macam tulisan ilmiah, antara lain sebagai berikut.
1.      Laporan penelitian, adalah laporan yang ditulis berdasarkan penelitian, misalnya laporan penelitian yang didanai oleh fakultas dan universitas, laporan ekskavasi arkeologis yang dibiayai oleh Departemen Kebudayaan, dan sebagainya.
2.      Skripsi, adalah tulisan ilmiah untuk mendapatkan gelar akademik sarjana strata satu (S1)
3.      Tesis, adalah tulisan ilmiah untuk mendapatkan gelar akademik strata dua (S2), yaitu Master/Magister.


4.      Disertasi, adalah tulisan ilmiah untuk mendapatkan gelar akademik strata tiga (S3), yaitu Doktor.
5.      Surat pembaca, adalah surat yang berisi kritik dan tanggapan terhadap isi suatu tulisan ilmiah.
6.      Laporan kasus, adalah tulisan mengenai kasus-kasus yang ada yang dilandasi dengan teori.
7.      Laporan tinjauan, adalah tulisan yang berisi tinjauan karya-karya ilmiah dalam kurun waktu tertentu, misalnya Biological Anthropology in The Americas: 1900-2000.
8.      Resensi adalah tanggapan terhadap suatu karangan atau buku yang memaparkan manfaat karangan atau buku tersebut bagi pembaca.
9.      Monograf, adalah karya asli menyeluruh dari suatu masalah. Monograf ini dapat berupa tesis atau pun disertasi.
10.  Referat, adalah tinjauan mengenai karangan sendiri dan karangan orang lain.
11.  Kabilitasi, adalah karangan-karangan penting yang dikerjakan sarjana Departeman Pendidikan Nasional untuk bahan kuliah.
            Sebagai bagian dari tugas-tugas perkuliahan, karya ilmiah dalam bentuk makalah dan laporan buku atau laporan bab (chapter) merupakan bagian dari sistem SKS (Satuan Kredit Semester), yaitu merupakan komponen tugas-tugas berstruktur yang harus dipenuhi oleh para mahasiswa di luar kegiatan perkuliahan dalam kelas. Jadi, makalah dan laporan buku atau laporan bab merupakan konsekuensi logis dari sistem SKS.
            Sementara itu, Arifin (2003:2-3) menyatakan tentang perbedaan istilah-istilah karya ilmiah sebagai berikut.
            Makalah adalah karya tulis ilmiah yang menyajikan suatu masalah yang pembahasannya berdasarkan data di lapangan yang bersifat empiris-objektif. Makalah menyajikan masalah dengan melalui proses berpikir deduktif dan induktif. Biasanya, makalah disusun untuk melengkapi tugas-tugas mata kuliah tertentu atau untuk memberikan saran pemecahan tentang suatu masalah secara ilmiah. Dilihat dari bentuknya makalah merupakan bentuk yang paling sederhana di antara karya tulis ilmiah yang lain.
            Kertas kerja adalah karya tulis ilmiah yang menyajikan sesuatu berdasarkan data di lapangan yang bersifat empiris-objektif. Analisis dalam kertas kerja lebih serius daripada analisis dalam makalah. Biasanya kertas kerja ditulis untuk disajikan dalam suatu seminar atau lokakarya.
            Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang mengemukakan pendapat penulis berdasarkan pendapat orang lain. Pendapat yang diajukan harus didukung oleh data dan fakta empiris-objektif, baik berdasarkan penelitian langsung (observasi lapangan) maupun penelitian tidak langsung (studi kepustakaan). Biasanya, skripsi ditulis untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana muda/diploma atau sarjana dan penyusunannya dibimbing oleh seorang dosen atau tim yang ditunjuk oleh suatu lembaga pendidikan tinggi.
            Tesis adalah karya ilmiah yang bersifat lebih mendalam daripada skripsi. Tesis akan mengungkapkan pengetahuan baru yang diperoleh dari penelitian sendiri. Karya tulis ini akan memperbincangkan pengujian terhadap suatu hipotesis atau lebih dan ditulis oleh mahasiswa fakultas pascasarjana.


            Disertasi adalah karya tulis ilmiah yang mengemukakan suatu dalil yang dapat dibuktikan oleh penulis yang berdasarkan data dan fakta yang sahih dengan analisis yang terinci. Dalil ynag dikemukakan biasanya dipertahankan oleh penulisnya dari sanggahan-sanggahan senat guru besar/penguji suatu pendidikan tinggi.
Disertasi ini berisi suatu temuan penulis sendiri  yang berupa temuan orisinal. Jika temuan orisinal ini dapat dipertahanakan oleh penulisnya dari sanggahan penguji, penulisnya berhak menyandang gelar doktor.
           
C. Manfaat dan Fitur-fitur Karya Ilmiah
            Semua jenis karangan ilmiah hendaklah ditulis dengan padat serta disusun secara logis dan cermat. Melalui karya ilmiah, mahasiswa atau dosen mengungkapkan pikirannya secara sistematis, sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan. Di samping itu, karya ilmiah juga merupakan wahana untuk menyajikan nilai-nilai praktis maupun nilai-nilai teoretis hasil-hasil pengkajian dan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen.
            Penyusunan karya ilmiah memberikan manfaat yang sangat besar, baik bagi penulis maupun bagi masyarakat. Sikumbang (1981:2-5) menyatakan bahwa ada enam manfaat yang diperoleh dari kegiatan menulis karya ilmiah, yaitu sebagai berikut.
1.      Penulis akan terlatih mengembangkan keterampilan membaca yang efektif karena sebelum menulis karangan ilmiah, ia mesti membaca dahulu kepustakaan yang ada relevansinya dengan topik yang akan dibahas.
2.      Penulis akan terlatih menggabungkan hasil bacaan dari berbagai buku sumber, mengambil sarinya, dan mengembangkannya ke tingkat pemikiran yang lebih matang.
3.      Penulis akan berkenalan dengan kegiatan perpustakaan, seperti mencari bahan bacaan dalam katalog pengarang atau catalog judul buku.
4.      Penulis akan dapat meningkatkan keterampilan dalam mengorganisasikan dan menyajikan fakta secara jelas dan sistematis.
5.      Penulis akan memperoleh kepuasan intelektual.
6.      Penulis tutur memperluas cakrawala ilmu pengetahuan masyarakat.
            Selanjutnya, Brotowidjoyo (1985:33-34) menyatakan bahwa orang yang berjiwa ilmiah memiliki tujuh sikap ilmiah, antara lain sebagai berikut.
1.      Sikap ingin tahu yang diwujudkan dengan selalu bertanya tentang berbagai hal.
2.      Sikap kritis yang direalisasikan dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya, baik dengan jalan bertanya kepada siapa saja yang diperkirakan mengetahui masalah maupun dengan membaca sebelum memnentukan pendapat untuk ditulis.
3.      Sikap terbuka dinyatakan dengan selalu bersedia mendengarkan keterangan dan argumentasi orang lain.
4.      Sikap objektif diperlihatkan dengan cara menyetakan apa adanya, tanpa dibarengi perasaan pribadi.
5.      Sikap rela menghargai karya orang lain diwujudkan dengan mengutip dan menyatakan terima kasih atas karangan orang lain dan menganggapnya sebagai karya yang orisinal milik pengarangnya.
6.      Sikap berani mempertahankan kebenaran diwujudkan dengan membela fakta atas hasil penelitiannya.

7.      Sikap menjangkau ke depan dibuktikan dengan sikap “futuristik”, yaitu berpandangan jauh, mampu membuat hipotesis dan membuktikannya bahkan mampu menyusun suatu teori baru. 
            Dengan sifat dan kedudukan itu, karya ilmiah dalam lingkungan akademik bisa ikut memperkaya khazanah keilmuan dan memperkokoh paradigma keilmuan pada bidang keilmuan atau disiplin yang relevan.
Proses akumulasi, validasi, dan bahkan falsifikasi dalam kegiatan ilmiah melalui penelitian-penelitian dan pengkajian-pengkajian ilmiah ini merupakan prasyarat untuk perkembangan suatu disiplin keilmuan. 
            W. Paul Jones (1959) dalam Gie (2002:93) menyatakan bahwa ada sepuluh fitur dalam karangan ilmiah, yaitu (1) menyajikan fakta-fakta, (2) cermat dan jujur (accurate and truthful), (3) tidak memihak (disinterested), (4) sistematis, (5) tidak bersifat haru (not emotive), (6) mengesampingkan pendapat yang tidak mempunyai dasar (unsupported opinion), (7) sungguh-sungguh (sincere), (8) tidak bercorak debat (not argumentative), (9) tidak secara langsung bernada membujuk (not directly persuasive), (10) tidak melebih-lebihkan. 

D. Ragam atau Gaya Penulisan Karya Ilmiah
            Ada perbedaan pendapat mengenai ragam atau gaya dalam penulisan karya ilmiah. Beberapa penulis menyatakan bahwa ada lima ragam, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, arguentasi, dan persuasi (Nursisto, 2000:37; Djuhaeri dan Suherli, 2001:47). Sementara itu, penulis yang lain menyatakan bahwa hanya ada empat ragam, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi (Widagdho, 1997:107; Arifin dan Tasai, 2000:128; Gie, 2002:25; Waluyo, 2000:29).
            Menurut Waluyo (2000:31) persuasi adalah sejenis argumentasi yang mempengaruhi pembaca atau pendengar secara berlebihan agar mengikuti jalan pikirannya, sedangkan Arifin dan Tasai (2000:129) dan Widagdho (1997:117) menyatakan bahwa wacana argumentasi disebut juga persuasi.

1. Narasi
            Narasi menurut Keraf (2001:136) adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi, sedangkan menurut (Nursisto, 2000:39; Arifin dan Tasai, 2000:130) narasi adalah karangan yang berupa rangkaian peristiwa  yang terjadi dalam satu kesatuan waktu. Karangan yang tergolong dalam jenis ini adalah cerpen, novel, roman, dan semua karya prosa imajinatif. Ragam ini jarang digunakan dalam karangan ilmiah. Tujuannya adalah menyajikan peristiwa atau mengisahkan apa yang telah terjadi dan bagaimana suatu peristiwa terjadi. Ragam ini jarang digunakan dalam karangan ilmiah.

2. Deskripsi
            Deskripsi (perian) adalah karangan atau karya ilmiah yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, merasakan, mencium) apa yang dilukiskan pengarang (Nursisto, 2000:40). Ada tiga jenis deskripsi,

antara lain: (1) realistis, yaitu dengan kenyataan apa adanya, (2) impresionistis, yaitu bentuk pemerian secara subjektif dengan detil sesuai dengan pandangan pribadi, dan (3) afektif, yaitu sesuai dengan sikap penulis (masa bodoh, cermat, santai, serius, dan sebagainya).
            Berdasarkan point of view, terdapat tiga jenis penentu deskripsi , yaitu lokasi jarak, lokasi waktu, dan sikap pengarang. Di samping itu, berdasarkan cara analisis, terdapat
deskripsi teknis (memberikan uraian langsung dan objektif tentang rupa (appearance), letak atau strktur dari sesuatu, dan deskripsi sugestif (membangkitkan kesan/impresi tentang tempat, pemandangan, atau orang yang menyusun wacana khusus (Waluyo, 2000:30).

3. Eksposisi
            Eksposisi (paparan) adalah karangan yang menerangkan atau menjelaskan pokok pikiran yang dapat memperluas wawasan atau pengetahuan pembaca. Melalui eksposisi penulis berusaha menjelaskan suatu ide atau gagasan, menganalisis sesuatu, membatasi pengertian sebuah istilah, memberikan perintah, dan sebagainya.
            Jenis wacana eksposisi antara lain (1) definisi dan definisi yang diperluas; (2) analisis; (3) proses; (4) ikhtisar atau ringkasan (summary). Jenis karangan ini memiliki fitur-fitur sebagai berikut.

a.       Berisi penjelasan atau informasi.
b.      Menggunakan contoh, fakta, gambar peta, dan angka-angka.
c.       Akhir karangan berupa penegasan.

4. Argumentasi
            Gaya atau ragam penulisan argumentasi adalah bentuk ragam penulisan yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang agar percaya dan kemudian bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau pembicara. Ragam ini memiliki fitur-fitur, antara lain:
a.       Mengandung bukti dan kebenaran.
b.      Alasan kuat.
c.       Menggunakan bahasa denotatif.
d.      Analisis rasional.
e.       Unsur subjektif dan emosional sangat dibatasi bahkan sedapat mungkin tidak ada.
            Menurut Waluyo (2000:31) ada empat istilah yang berkaitan dengan argumentasi, antara lain:
a. Proposisi, yaitu pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau ditolak karena mengandung kesalahan. Terdiri atas inferensi (penarikan simpulan), implikasi (rangkuman), dan evidensi (semua fakta, data, kesaksian, informasi, dan otoritas yang digunakan untuk membuktikan kebenaran).
b. Analogi, yaitu proses pernalaran yang berupa penyimpulan tentang sesuatu yang berlaku dan berlaku pula untuk yang lain. Ada analogi induktif , deklaratif, dan analogi penjelas.
c. Pernalaran, yaitu proses berpikir yang menggunakan prinsip-prinsip argumentasi untuk menyimpulkan sesuatu dan untuk memecahkan masalah.
d. Persuasi.

5. Persuasi
            Persuasi atau imbauan adalah jenis karangan yang di samping mengandung alasan-alasan dan bukti atau fakta, juga mengandung ajakan atau imbauan agar pembaca mau menerima dan mengikuti pendapat dan kemauan penulis (Nursisto, 2000:45).

Tujuan ragam gaya penulisan ini adalah mempengaruhi dan mengubah sikap atau mengimbau pembaca agar dengan sukarela melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak penulis disertai kesadaran dan dilandasi oleh pengertian. Ragam ini memiliki fitur-fitur, (a) ada alasan dan bukti (argumen), (b) ada unsur imbauan atau ajakan, (c) tidak ada pertentangan atau konflik.
            Metode-metode persuasi adalah: rasionalisasi (pembenaran dengan akal); identifikasi (menyesuaikan diri dengan pembaca atau pendengar; sugesti (membujuk); proyeksi (subjek dijadikan objek); dan kompensasi (mengganti hal-hal yang tidak diterima).

G. Tahap-tahap Penyusunan Karangan Ilmiah
            Dalam kegiatan penyusunan karangan ilmiah, ada lima tahapan yang harus dilalui oleh para peneliti/penulis karangan ilmiah (Arifin, 2003:7). Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.




























 











H. Logika Sebagai Paradigma dalam Penulisan Ilmiah
            Logika adalah cabang, tetapi juga kondisi dan tuntutan fundamental mutlak eksistensi ilmu yang secara sistematis menyelidiki, merumuskan, dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati agar orang berpikir dengan tepat, lurus, dan teratur.
            Logika sebagai ilmu merumuskan aturan-aturan untuk pemikiran yang tepat. Maksud pelajaran logika praktis. Jadi, yang kita pentingkan dalam studi ini adalah kecakapan menerangkan aturan-aturan pemikiran yang tepat terhadap persoalan-persoalan kongkret yang kita hadapi setiap hari, serta pembentukan sikap ilmiah, kritis, dan objektif sehingga logika dalam hal ini sangat berperan sekali dalam lembaga-lembaga riset yang berkaitan dengan penulisan ilmiah.
            Penulisan ilmiah sebenarnya suatu kegiatan yang didasarkan pada ciri keilmuan yang bersifat rasional , empiris, logis, dan sistematis. Suatu kajian ilmu dikatakan ilmiah jika memiliki beberapa persyaratan, antara lain: ilmu harus memiliki objek, ilmu harus memiliki metode, ilmu harus sistematis, ilmu harus bersifat universal, dan memiliki seting yang jelas.
            Segala sesuatu wajib diragukan, dan di bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti seperti yang secara tegas dinyatakan oleh Descartes (dalam Suriasumantri, 1985; Bertens, 1981). Dalam proses pernalaran, baik secara deduktif maupun induktif semuanya menggunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Konsep tentang kebenaran adalah sesuatu yang sulit ditangkap. Kebenaran menurut Ford (dalam Lincoln dan Guba, 1985) dalam bukunya yang berjudul Paradigms and Fairy Tales (1975) menyatakan bahwa istilah kebenaran memiliki empat macam makna yang berbeda, yaitu kebenaran empiris, kebenaran logis, kebenaran etis, dan kebenaran metafisis.
            Kebenaran empiris adalah kebenaran yang biasa digunakan oleh para ilmuwan, merupakan suatu pernyataan dalam bentuk hipotesis. Selanjutnya, kebenaran adalah kebenaran logis jika merupakan pernyataan yang secara logis atau matematis sejalan dengan pernyataan lain yang telah diketahui sebagai benar. Kebenaran etis adalah kebenaran yang merumuskan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika seseorang yang menyatakan berbuat sesuai dengan ukuran pelaksanaan yang bersifat moral atau professional, sedangkan yang terakhir, yaitu kebenaran metafisis sangat berbeda dengan yang lain, dengan pengertian bahwa suatu pernyataan sebagai kebenaran tidak dapat diuji kebenarannya dengan dihadapkan pada  beberapa norma eksternal semacam kesesuaian dengan alam, penarikan simpulan yang logis, atau pun ukuran pelaksanaan professional.

Dengan kata lain kebenaran metafisis harus diterima sebagaimana adanya karena kepercayaan dasarnya tidak dapat dibuktikan dengan kebenaran yang dianggap benar oleh kebenaran yang lain. Kebenaran ini menghadirkan batas akhir yang berbeda dari semua kebenaran yang teruji.
            Pada umumnya lembaga-lembaga perguruan tinggi (lembaga-lembaga riset dan penerbit-penerbit karya ilmiah) telah menetapkan pedoman-pedoman mengenai penulisan karya ilmiah yang mereka harap dapat diikuti dengan seksama oleh semua pihak yang bekerja dalam dan untuk lembaga-lembaga tersebut. Sebaliknya, pedoman-pedoman itu dapat diikuti dengan tertib untuk menghindari kesulitan-kesulitan karena suatu karya bisa ditolak atau minta direvisi semata-mata karena tidak mengikuti pedoman-pedoman yang berlaku.
            Pada dasarnya semua karya ilmiah berpijak pada aturan tata tulis yang sama. Adalah hal yang esensi sekali bagi mahasiswa atau penulis untuk mempelajari dengan baik tata tulis ilmiah sebab dalam studinya ia akan menulis paper, skripsi, tesis, atau mungkin juga disertasi.
            Menyertakan atau menyisipkan kutipan-kutipan dalam penulisan ilmiah (skripsi, tesis, atau manuskrip) menurut Sutrisno Hadi (1989) tidaklah dilarang dan bukan merupakan suatu keaiban. Tidak jarang pendapat, ide, atau konsep, hipotesis, pendirian atau simpulan riset dari ahli lain atau kepunyaan sendiri yang telah dituliskan di suatu buku dikutip kembali untuk ditelaah, dibahas, dikritik, atau diperkuat.
            Perlu diketahui juga bahwa dalam penulisan ilmiah diperlukan suatu metode dalam bernalar. Menalar adalah berpikir dengan tepat dalam rangka mencapai suatu kebenaran. Menalar juga memiliki makna berbicara dengan diri sendiri di dalam batin, mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menyajikan argumen-argumen, dan meneliti penalarannya serta mencari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, mempertanyakan terjadinya sesuatu di dalam kehidupan nyata, dan akhirnya menarik suatu simpulan (menyimpulkan) sebagai suatu yang baru berdasarkan apa yang telah diketahui (Suharto, 1994:1).
            Di dalam penulisan karya ilmiah logika berperan dalam menuntun langkah-langkah berpikir manusia yang berangkat dari prosedur berpikir ilmiah, baik dalam penulisan gaya deskripsi, eksposisi, argumentasi, maupun persuasi. Hal ini ditunjukkan dengan tata urutan penulisan dan kaidah penulisan dari bagian inti laporan penelitian ilmiah dari bagian pendahuluan sampai dengan simpulan.
            Dengan demikian, logika berperan dalam alur penyusunan suatu karya ilmiah, yaitu mulai dari menemukan sesuatu, menganalisis, membuktikan sesuatu tersebut sampai akhirnya menarik suatu simpulan. Oleh karena itu, ada suatu kiat yang berbunyi: “think – plan – write – revise”. Dua tahap pertama, yaitu “berpikir” dan “merencanakan” merupakan langkah awal yang penting dalam setiap proses penulisan. Dengan rencana yang telah dipersiapkan dengan matang, suatu tulisan akan dapat dikerjakan dengan baik. Dalam hal ini pula, logika berperan serta dalam penulisan karya ilmiah sebab berpikir adalah objek material logika. Hal tersebut senada dengan pernyataan Lanur (1983:7-8) bahwa berpikir adalah objek material logika. Maksudnya ialah kegiatan pikiran akal budi manusia untuk mengolah dan mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya untuk mencapai kebenaran dengan cara berpikir lurus dan tepat.

Text Box: METODE ILMIAH


            Secara garis besar, alur penyusuanan karya tulis ilmiah menurut Nazir (1988:12) adalah sebagai berikut.
                
Text Box: LANGKAH-LANGKAH


Text Box: KRITERIA



Text Box: 1. Memilih dan mendefinisikan masalah.
2. Survai terhadap data yang tersedia.
3. Memformulasikan hipotesis.
4. Membangun kerangka analisis serta alat-alat penguji hipotesis.
5. Mengumpulkan data primer.
6. Mengolah, menganalsis, serta membuat interpretasi.
7. Membuat generalisasi dan simpulan.
8. Membuat laporan.


Text Box: 1. Berdasarkan fakta.
2. Bebas dari prasangka.
3. Menggunakan prinsip-prinsip.
4. Menggunakan hipotesis.
5. Menggunakan ukuran objektif.
6. menggunakan teknik kuantifikasi.

Dari kiat yang dikemukakan pada bagan ini, yaitu “think – plan – write – revise” tampak jelas bahwa tulisan yang telah disusun selalu membutuhkan peninjauan kembali (revise). Hanya dengan cara ilmiah sebuah karya ilmiah dapat disempurnakan.
            Kesesatan pernalaran dapat terjadi pada siapa saja, bukan karena kesesatan dalam fakta-fakta, tetapi kesesatan dalam penyimpulan yang sesat/keliru karena tidak dari alur pemikiran dalam penyusunan suatu karya ilmiah. Khusus dalam hal ini “revising”, dalam proses ini kita mencoba meyakinkan bahwa pembaca bisa mengerti pesan yang kita sampaikan. Kita harus mengecek apakah gagasan-gaagasan logis kita layak untuk dipresentasikan atau tidak (Bram, 1995:68).

H. Bahasa Karya Ilmiah
            Bahasa dikatakan sebagai alat berpikir dan bernalar. Dengan berbahasa kita bisa mengungkapkan apa yang kita rasakan dan kita pikirkan sehingga berbahasa bisa mengaktualisasikan perwujudan konsep-konsep hasil pemikiran. Oleh karena itu, manusia yang sedang berpikir senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan bagaimana dan mengapa fenomena yang dihadapinya itu bisa seperti pada saat manusia melihat, mendengar, dan merasakan. Pertanyaan itu muncul akibat dari keingintahuan manusia yang tidak mungkin dapat dilontarkan tanpa menggunakan bahasa.
Dalam konteks keilmuan, menurut Rusyana dalam Djuharie dan Suherli (2001:76), bahasa memiliki beberapa syarat, antara lain:
(1) Jelas, artinya makna yang muncul tidak menimbulkan salah pengertian.
(2) Deskriptif, artinya bahasa menggambarkan kenyataan empiris secara spesifik.
(3) Bernalar, artinya bahasa yang digunakan dapat dijadikan sebagai hubungan sebab akibat, runtut, dan sistematis.
(4) Dapat dikontrol, artinya, bahasa yang dipakai dapat diselidiki kebenaran dan ketidakbenarannya.
(5) Sederhana, kesederhanaan ini berkaitan dengan susunan yang sistematis dalam keilmuan.
(6) Menunjukkan bahasa yang abstrak, hal ini selaras dengan tujuan ilmu, yaitu dari hal-hal yang kongkret menuju ke generalisasi dan selanjutnya teori.
            Bahasa yang dipakai dalam karya ilmiah menurut Waluyo (2000:17) adalah bahasa keilmuan yang memiliki fitur-fitur (1) reproduktif, (2) straight forward, (3) baku, (4) gahari, (5) kalimatnya efektif, (6) tidak ambigu, (7) tidak emotif, tetapi rasional, (8) lebih diutamakan kalimat pasif dan tidak menyebut persona, (9) register keilmuan, dan (10) notasi ilmiah.
            Bahasa ragam karya ilmiah memiliki perbedaan dengan ragam lain dari kata-kata yang digunakannya,bahasa karya ilmiah menunjukkan karakteristik yang khas, antara lain ditunjukkan dengan maknanya yang konstan dan lepas dari emosi. Bahasa karya ilmiah juga menuntut adanya aturan logika yang benar. Hal ini sesuai dengan salah satu fitur bahasa baku, yaitu rasional. Artinya, bahwa pemakaian alat-alat bahasa – kata dan kalimat – haruslah tepat sehingga setiap kata hanya mempunyai satu fungsi tertentu saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja. Bahasa logika menurut Russel (dalam Djuharie, 2001:79) mengandung aturan sintaksis sehingga mencegah ungkapan tidak bermakna dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas.
            Untuk menghindari kekeliruan dalam pernalaran, diperlukan pemikiran serta penyelidikan ilmiah dengan menggunakan kategori-kategori ilmiah yang bersifat logis, teoretis, dan sesudah itu pengamatan, penghitungan, serta verifikasi di dalam percobaan-percobaan (Soemargono, 1985:53).
            John Dewey dalam Nawawi (1991:98) menyatakan bahwa langkah berpikir ilmiah adalah sebagai berikut.
a.       Adanya suatu kebutuhan (the felt need).
            Seseorang merasakan adanya suatu kebutuhan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya akibat adanya kesenjangan antara kenyataan dan harapan dengan harapan yang ada pada pemikirannya.
b.      Menetapkan masalah (the problem).
            Setelah merasakan adanya suatu kebutuhan, langkah selanjutnya adalah berusaha merumuskan, menegaskan, dan membatasi masalah yang timbul, agar jelas aspek-aspeknya dalam usaha memenuhi kebutuhannya.
c.       Menyusun hipotesis (the hypothesis).
            Selanjutnya orang tersebut perlu memperkirakan kemungkinan pemecahan masalah yang telah dirumuskannya tersebut, sebagai terkaan yang didasarkan atas pengalamannya pada masa lalu atau dengan memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan masalah yang dihadapi.
d.      Menarik simpulan yang diyakini kebenarannya (concluding belief).
            Simpulan yang diperoleh dari hipotesis itu selanjutnya harus dirumuskan sebagai suatu pendapat atau teori yang terbaik sebagai pemecahan masalah dalam mengatasi kebutuhan yang dirasakan.
e.       Menetapkan manfaat dari simpulan yang berlaku secara umum (general value of the conclusion).
Setelah menarik simpulan harus diusahakan merumuskan implikasi-implikasinya yang dapat dipergunakan secara umum dalam menghadapi masalah yang sama atau memiliki kesamaan dalam kenyataan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar